Pesantren termasuk lembaga pendidikan tertua di Indonesia. Pesantren
bahkan sudah ada sejak sebelum Indonesia merdeka. Sebagai lembaga
pendidikan khas Indonesia, pesantren tumbuh demikian pesat dalam warna
dan keberagamaannya.
Meski beragam ciri dan warna, Menag Lukman
Hakim Saifuddin menegaskan bahwa ada tiga ciri utama yang dimiliki
setiap pesantren. Ketiga ciri itu adalah pemahaman keagamaan yang
moderat, sikap yang toleran, serta cinta Tanah Air.
“Saya
mencermati, setiap pesantren mempunyai ragam jenis berbeda yang
dikembangkan, sebagai ciri khasnya. Semua disesuaikan dengan situasi
kondisi dan kebutuhannya. Ada yang tahassus ilmu agama, ada yang
mengembangkan pertanian, ada yang konsentrasi dibidang pertukangan, ada
yang khusus ilmu hadits, ulumul Qur’an dan lain sebagainya. Sungguh
sangat beragam. Meski demikian, diantara keragaman yang ada, minimal ada
tiga ciri utama yang terdapat dalam setiap pesantren,” demikian
dikatakan Menag saat memberikan sambutan di hadapan pengasuh, pimpinan,
serta para santri dan alumni Pondok Pesantren Modern Sahid, Gunung
Menyan, Bogor, Rabu (27/05).
Hadir dalam tasyakuran tersebut
keluarga besar Sukamdani Sahid, keluarga besar Ponpes, Kakanwil Kemenag
Provinsi Jawa Barat, Kalankemenag Kabupaten Bogor, Ketua MUI pusat, para tokoh agama dan masyarakat sekitar dan lain sebagainya.
“Pertama,
setiap pesantren bisa dipastikan, menanamkan dan mengajarkan
nilai-nilai Islam yang penuh dengan moderasi” terang Menag.
“Jadi
Islam bukan hanya untuk kaum Muslim semata, namun lebih dari itu, Islam
ada untuk menebarkan kemaslahatan manusia dan alam semesta, yang kita
kenal dengan sebutan faham Islam Ahlussunnah wal Jama’ah,” tambahnya.
Ciri
kedua, lanjut Menag, setiap pesantren mengajarkan faham toleransi yang
tinggi. Insan pesantren tidak pernah menganggap apa yang mereka yakini
sebagai sebuah kebenaran, adalah kebenaran yang mutlak. “Banyak
pesantren mengikuti pendapat Imam Syafi’i: pendapatku itu adalah sesuatu
yang benar menurutku, tetapi boleh jadi, pendapatku itu salah. Sisi
lain, pendapat orang lain itu menurutku salah. Meski demikian, bisa
jadi, ada kebenarannya,” tuturnya.
“Jadi, dalam pesantren,
kebenaran itu tidak mutlak pada dirinya. Bahkan perbedaan bisa
menimbulkan simpati, bahkan empati. Jadi pesantren melihat perbedaan
sebagai sebuah rahmat,” lanjutnya. Meski demikian, Menag mengingatkan,
toleran bukan berarti, menerima atau meyakini keyakinan yang beda
tersebut.
Ciri ketiga pesantren adalah senantiasa menanamkan
kesadaran akan cinta Tanah Air. Cinta Tanah Air bahkan bisa dijadikan
sebagai salah satu standard kualitas keimanan seorang muslim. Menurut
Menag, Ahlussunnah wal jamaah memahami, syariat dan nilai-nilai agama
bisa ditegakkan di masyarakat, ketika daerah atau negara dalam kondisi
damai. Artinya, kedamaian menjadi syarat mutlak.
“Jika tiba-tiba
ada orang Islam yang mengajarkan kekerasan dan mentolelir pembunuhan
atas nama agama, maka perlu dipertanyakan kembali keIslamannya. Karena
hal ini akan meruntuhkan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara,”
tutur Menag. (G-penk/mkd/mkd)
0 komentar:
Posting Komentar